About Me Myspace Comments

Resensi

Perubahan yang Berakibat Fatal
Oleh Lutfiani Azahra
Data Buku
Judul : Dua Perempuan di Satu Rumah
Penulis : AS Laksana
Penebit : Harian Kompas (Minggu, 30 Agustus 2009)
Tahun Terbit : Agustus, 2009
Apa yang diceritakan oleh AS Laksana akan menjadi sebuah perenungan kepada kita terutama orang tua dalam hal mendidik putra-putri mereka. Cerpen yang ditulis oleh AS Laksana ini sarat akan makna yang patut untuk dipikirkan dengan baik.
Dimuat di sebuah surat kabar nasional, yang sudah pasti memiliki inti cerita yang layak untuk dibaca, selain cerpen karya AS Laksana ini, setiap hari Minggu, harian Kompas selalu menghadirkan sebuah cerpen yang dimuat dirubrik Seni dengan penulis dan cerita yang berbeda setiap Minggu. Contoh lain cerpen karangan AS Laksana adalah Menggambar Ayah, Bidadari yang Mengembara, Peristiwa Pagi Hari Seto jadi Kupu-kupu,Cerita tentang Ibu yang dikerat buldoser, Seorang Ibu yang menunggu, serta masih banyak cerita pendek karya AS Laksana. Selain memuat cerpen karangan AS Laksana, harian kompas juga pernah memuat karya Eka Kurniawan dengan judul Taman Patah Hati, yang bercerita tentang seorang pemuda yang percaya akan takhayul, akan tempat-tempat yang bisa dijadikan untuk memutuskan seorang pacar atau karangan Yanusa Nugroho dengan Bayangan Darah tentang manusia yang selalu bertengkar untuk memperebutkan harta.
Cerpen ini bercerita tentang seorang anak bernama Seto. Ia hidup dengan kedua orangtuanya dan seorang adiknya. Ia tidak menyukai ibunya, karena Ibunya selalu memaksa, menyuruh, dan mengatur hidupnya, memang Seto masih kecil pada saat itu. Ibunya sering berteriak-teriak menyuruhnya mandi, makan atau hal lainnya. Ayahnya sering menyuruhnya untuk menjadikan Ibunya sahabat, bukan musuh yang ditakuti. Ayahnya sering memberikan petuah dan masukkan. Sebenarnya Seto mau saja berbaikan dengan Ibunya asalkan Ibunya tidak selalu mengatur dirinya. Hingga pada suatu saat Ayahnya pergi kerumah sakit, dengan menjual tanah warisan dari keluarganya, Ayahnya kembali dengan kejanggalan yang luar biasa membuat Seto dan Ibunya terkejut. Ayah Seto pulang kerumah sebagai perempuan! Sejak saat itu, Ibu Seto tak lagi mengatur dirinya. Seto merasa bingung, disekolahnya ia selalu mendapat ejekan bahwa ayahnya banci. Hingga Seto tumbuh dewasa, dan ia bergaul dengan orang-orang yang suka mabuk. Suatu saat ia menyiksa enam orang banci di tempat mangkal mereka. Alasan Seto menyiksa mereka, hanya ingin agar ayahnya membenci Seto dan menjauhinya.
Itu adalah garis besar cerita yang ditulis AS Laksana. Cerita ini ceritakan dengan dua sudut pandang, yang pertama oleh Anak Seto dan oleh Seto sendiri. Cerpen ini cukup mudah dipahami oleh pelajar seusia SMA, tidak seperti novel Angkatan Balai Pustaka atau Angkatan Pujangga Baru yang bahasanya sangat tinggi, juga dari cerpen dengan tema serupa, yang pada awalnya bisa dimengerti, namun ketika masuk bagian konflik, cerita semakin rumit dan kompleks, serta kurang dimengerti.
Tema yang diangkat cukup berat dan serius untuk diceritakan. Memang, cerpen ini diceritakan dengan cukup serius, namun saat masuk konflik tambahan, terselip sebuah humor yang cukup membuat Anda tersenyum atau tertawa, yaitu ketika Seto menceritakan Ayahnya yang berganti nama menjadi Linda Praptanto, sedangkan awalnya Lindu Praptanto. Seto menceritakan nama Ayahnya seperti nama selebriti yang nama belakangnya adalah nama ayah mereka, misalnya Adi Bing Slamet, nama Ayahnya adalah Bing Slamet, Sari Yok Koeswoyo, karena memang nama Ayahnya demikian. Namun tidak selalu begitu, Darto Helm misanya, tentu bukan karena Ayahnya bernama Helm. (Kolom 6 paragraf terakhir-kolomm 7 paragraf awal).
Amanat yang disampaikan cukup ‘dalam’ dan bermakna, mengenai pertumbuhan anak yang dipengaruhi oleh keadaan orang tua mereka. Cerita ini berkisah tentang bagaimana seorang anak merasa kekurangan perhatian dari orang tuanya, dan ia membuat keributan hanya karena ingin mencari perhatian, apalagi dengan menyadari bahwa sosok seorang ayah menjadi seorang waria.
Dilihat dari struktur bahasa dan penggunaan diksi serta ejaan, memang bahasa yang digunakan bukanlah bahasa pergaulan yang kerap digunakan sehari-hari oleh remaja sebaya pelajar SMA, namun tak menutup kemungkinan bahwa cerita ini menarik. Tetapi ada bagian permulaan yang cukup membingungkan, karena pada mulanya adalah cerita tentang hari ini, kemudian kembali menuju beberapa puluh tahun silam, kemudian adanya pergantian sudut pandang, membuat Anda harus mengkoneksikan hubungan antara pencerita pertama dengan pencerita kedua. Tetapi, itu bukanlah sebuah kendala yang besar.
Pada tampilan juga ada sebuah gambar ilustrasi karya Wiyoga Muhardanto dengan judul Dua Perempuan, dalam lukisannya menampakkan seorang Bapak setengah baya berkaca mata, mengintip dari balik dinding, yang didepannya terdapat sebuah manekin tubuh wanita tanpa kepala, dengan perawakan bagai biola Spanyol.
Kisah ini mengandung makna dan amanat yang cukup ‘dalam’ untuk direnungkan baik-baik terutama bagi mereka para orang tua. Namun sayangnya, tema yang diangkat dan bahasa yang digunakan tidaklah cocok untuk semua umur. Memang, semua umur boleh membaca, tetapi agak segan untuk dibaca oleh semua kalangan. Orang dewasalah yang paling tepat membaca cerita ini, meski demikian, oleh pelajar seusia SMA, cukup dimengerti dan dipahami. Pesan buku ini adalah orang tua sangatlah berpengaruh akan tumbuh kembangnya seorang anak.

0 komentar:



Posting Komentar

Let's Play!

Sorry, you will need the <a href="http://www.macromedia.com/go/getflashplayer/" target="_blank">Flash Player</a> to play this game.
Add Games to your own site


MusicPlaylist